dr Endang Kustiowati, Menjadi dokter di zaman dulu memang tidak mudah,
selain minim sarana dan prasarana saat bertugas, tak jarang juga harus
menghadapi banyak suka dan duka dari pasien. Salah satu yang berkesan
bagi dr Endang Kustiowati, SpS (K), MSi.Med adalah bayaran yang berupa
pisang bertandan-tandan.
Hal ini dialaminya saat menjalankan tugas dokter inpres di Bantarkawung, Brebes Selatan yang berbatasan dengan Purwokerto, Jawa Tengah, pada tahun 1986-an.
"Dulu kalau inpres di daerah yang betul-betul di perifer (jauh dari pusat). Banyak suka dukanya, karena di pelosok banget, di mana jangkauan pusat kesehatan jauh banget, justru lebih dekat ke Purwokerto daripada ke Brebes kota. Itu sekitar tahun 1986 sampai 1991, 5 tahun," ujar dr Endang Kustiowati, SpS (K), MSi.Med, dokter neurologi dari RS Karyadi Semarang, saat berbincang dengandetikHealth.
Karena zaman dahulu masih sangat jarang sarana kesehatan, dr Endang pun sering didatangi oleh pasien yang ditandu oleh orang sekampung. Yang sakit memang hanya satu orang, namun karena jarak tempat tinggalnya sangat jauh, pasien pun harus ditandu tanpa kendaraan dan bahkan harus menyeberangi sungai oleh orang-orang sekampung.
Ini mungkin bukan suatu duka bagi dr Endang, tapi kondisi yang membuat tidak nyaman. Seorang dokter di zaman itu dituntut begitu banyak oleh masyarakat dengan segala keterbatasannya, tanpa listrik, minim alat hingga ruang rawat inap pun tak ada.
Menurut dr Endang, Puskesmas tempat ia bertugas tak ada ruang rawat inap, sehingga bila ada pasien yang harus dirawat inap, ia harus merujuknya ke kota atau rumah sakit.
Lanjut dr Endang, Puskesmas dulu hanya ada Puskesmas I dan Puskesmas II. Puskesmas I terletak di daerah kecamatan, yaitu Bantarkawung. Sedangkan dr Endang bertugas di Puskesmas II di Buaran, Brebes Selatan perbatasan dengan Purwokerto, yang dari Bumiayu masih harus ditempuh sekitar 12 km lagi.
Hal menarik lainnya menjadi dokter zaman dulu adalah bayaran dari pasien yang terbilang unik. dr Endang mengatakan bahwa dulu satu pasiennya bisa membawa 1 tandan pisang. Bila sehari ia kedatangan 10 pasien, artinya dirumahnya bisa terdapat 10 tandan pisang.
"Di rumah seperti bakulan pisang. Setiap pasien bawa 1 tandan, kalau ada pasien 10 sudah 10 tandan. Jadi kayak orang mau jualan pisang, bertandan-tandan. Itulah enaknya jadi dokter zaman dulu, sekarang kayaknya sudah nggak ada yang seperti itu," kenang dokter yang mendalami penyakit epilepsi ini.
Saraf itu tidak kelihatan tapi penyakitnya jelas
"Saraf itu barangnya tidak kelihatan tapi penyakitnya jelas banget. Kalau sudah ada gangguan saraf, jelas banget rasanya berat dan pemulihannya juga susah, bahkan sulit normal," jelas dokter lulusan Universitas Diponegoro, Semarang ini.
Contohnya stroke, banyak orang akan bertanya apakah setelah terserang stroke pasien bisa sembuh dan bisa kembali seperti dulu. Ini sulit untuk dijawab, karena memang sel otak paling sulit untuk dipulihkan.
Namun dengan perkembangan ilmu dan banyaknya terobosan baru, setidaknya regenerasi sel-sel otak bisa terus terjadi.
Setelah spesialis saraf yang unik, dr Endang pun memutuskan untuk menggeluti epilepsi. Menurutnya, epilepsi adalah penyakit yang unik dan benar-benar murni penyakit saraf.
"Tidak ada disiplin ilmu lain yang mengklaim epilepsi. Beda dengan stroke sekarang sudah banyak disiplin lain, seperti penyakit dalam. Penyakit dalam sekarang lebih banyak menyoroti stroke dari faktor risiko, seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung. Tapi kalo epilepsi, unik. Murni kelainannya pada sel-sel otak," tegas dr Endang.
BIODATA
Nama lengkap
dr Endang Kustiowati, SpS (K), MSi.Med
Tempat dan tanggal lahir
Jakarta, 4 September
Status
Menikah dengan Dr Edi Sudijanto, SpRad (K) dengan dikarunia 2 anak.
Riwayat Pendidikan
Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Spesialis Saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang (1995)
Organisasi
PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia)
PERPEI (Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi di Indonesia)
sumber
Hal ini dialaminya saat menjalankan tugas dokter inpres di Bantarkawung, Brebes Selatan yang berbatasan dengan Purwokerto, Jawa Tengah, pada tahun 1986-an.
"Dulu kalau inpres di daerah yang betul-betul di perifer (jauh dari pusat). Banyak suka dukanya, karena di pelosok banget, di mana jangkauan pusat kesehatan jauh banget, justru lebih dekat ke Purwokerto daripada ke Brebes kota. Itu sekitar tahun 1986 sampai 1991, 5 tahun," ujar dr Endang Kustiowati, SpS (K), MSi.Med, dokter neurologi dari RS Karyadi Semarang, saat berbincang dengandetikHealth.
Karena zaman dahulu masih sangat jarang sarana kesehatan, dr Endang pun sering didatangi oleh pasien yang ditandu oleh orang sekampung. Yang sakit memang hanya satu orang, namun karena jarak tempat tinggalnya sangat jauh, pasien pun harus ditandu tanpa kendaraan dan bahkan harus menyeberangi sungai oleh orang-orang sekampung.
Ini mungkin bukan suatu duka bagi dr Endang, tapi kondisi yang membuat tidak nyaman. Seorang dokter di zaman itu dituntut begitu banyak oleh masyarakat dengan segala keterbatasannya, tanpa listrik, minim alat hingga ruang rawat inap pun tak ada.
Menurut dr Endang, Puskesmas tempat ia bertugas tak ada ruang rawat inap, sehingga bila ada pasien yang harus dirawat inap, ia harus merujuknya ke kota atau rumah sakit.
Lanjut dr Endang, Puskesmas dulu hanya ada Puskesmas I dan Puskesmas II. Puskesmas I terletak di daerah kecamatan, yaitu Bantarkawung. Sedangkan dr Endang bertugas di Puskesmas II di Buaran, Brebes Selatan perbatasan dengan Purwokerto, yang dari Bumiayu masih harus ditempuh sekitar 12 km lagi.
Hal menarik lainnya menjadi dokter zaman dulu adalah bayaran dari pasien yang terbilang unik. dr Endang mengatakan bahwa dulu satu pasiennya bisa membawa 1 tandan pisang. Bila sehari ia kedatangan 10 pasien, artinya dirumahnya bisa terdapat 10 tandan pisang.
"Di rumah seperti bakulan pisang. Setiap pasien bawa 1 tandan, kalau ada pasien 10 sudah 10 tandan. Jadi kayak orang mau jualan pisang, bertandan-tandan. Itulah enaknya jadi dokter zaman dulu, sekarang kayaknya sudah nggak ada yang seperti itu," kenang dokter yang mendalami penyakit epilepsi ini.
Saraf itu tidak kelihatan tapi penyakitnya jelas
"Saraf itu barangnya tidak kelihatan tapi penyakitnya jelas banget. Kalau sudah ada gangguan saraf, jelas banget rasanya berat dan pemulihannya juga susah, bahkan sulit normal," jelas dokter lulusan Universitas Diponegoro, Semarang ini.
Contohnya stroke, banyak orang akan bertanya apakah setelah terserang stroke pasien bisa sembuh dan bisa kembali seperti dulu. Ini sulit untuk dijawab, karena memang sel otak paling sulit untuk dipulihkan.
Namun dengan perkembangan ilmu dan banyaknya terobosan baru, setidaknya regenerasi sel-sel otak bisa terus terjadi.
Setelah spesialis saraf yang unik, dr Endang pun memutuskan untuk menggeluti epilepsi. Menurutnya, epilepsi adalah penyakit yang unik dan benar-benar murni penyakit saraf.
"Tidak ada disiplin ilmu lain yang mengklaim epilepsi. Beda dengan stroke sekarang sudah banyak disiplin lain, seperti penyakit dalam. Penyakit dalam sekarang lebih banyak menyoroti stroke dari faktor risiko, seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung. Tapi kalo epilepsi, unik. Murni kelainannya pada sel-sel otak," tegas dr Endang.
BIODATA
Nama lengkap
dr Endang Kustiowati, SpS (K), MSi.Med
Tempat dan tanggal lahir
Jakarta, 4 September
Status
Menikah dengan Dr Edi Sudijanto, SpRad (K) dengan dikarunia 2 anak.
Riwayat Pendidikan
Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Spesialis Saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang (1995)
Organisasi
PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia)
PERPEI (Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi di Indonesia)
sumber