KEPERCAYAAN primitif India yang mengagungkan anak lelaki dan menafikan kelahiran wanita berujung pada timpangnya jumlah kedua gender. Hal ini menyiptakan praktek yang bertentangan dengan moral, yaitu berkongsi istri dengan para saudara.
Hal ini terjadi di wilayah utara India, tepatnya di distrik Baghpat, hanya sekitar dua jam dari kota metropolitan New Delhi. Adalah Munni, wanita pertengahan 40-an yang mengisahkan penderitaannya menjadi seorang istri dari suami sekaligus pemuas nafsu adik-adik suaminya.
"Suami saya dan orangtuanya bilang, saya harus membagi diri saya dengan adik-adiknya," kata Munni, dikutip dari Daily Mail, Sabtu 29 Oktober 2011.
Dua adik suaminya adalah bujangan lapuk yang tidak memiliki istri. Antara lain disebabkan tidak memadainya jumlah wanita di desa tersebut. Munni saat ini punya tiga anak, hasil hubungannya dengan suami, dan dua adiknya.
"Keduanya menggagahi saya kapanpun mereka mau, siang atau malam. Jika saya menolak, mereka memukuli saya dengan apa saja. Kadang mereka mengusir saya untuk tidur di luar, saya juga pernah disiram minyak tanah dan dibakar," tutur Munni.
Setelah tiga bulan menderita, Munni berhasil kabur, setelah berpura-pura hendak pergi ke dokter. Tapi, perempuan yang telah memiliki tiga putra dari suami dan ipar-iparnya itu tak juga melayangkan tuntutan.
Tak Dilaporkan
Munni hanyalah satu dari puluhan wanita di Baghpat yang mengalami hal yang sama. Kasus-kasus penyiksaan dan penyimpangan ini kebanyakan tidak dilaporkan kepada polisi. Wanita-wanita ini jarang dapat keluar rumah sendirian, sehingga sulit untuk kontak dengan dunia luar.
Perempuan dilarang keluar rumah tanpa ditemani kaum prianya, apalagi para korban sering mendapat cemooh masyarakat. Sehingga tak heran bila hingga kini banyak ‘Munni’ lain di India.
Berbeda dengan perempuan modern dan percaya diri yang bekerja di kota besar seperti New Delhi, di desa tempat Munni berada, kaum hawa dikurung dalam rumah. Mereka hanya diposisikan untuk melahirkan anak dan bertugas membuat rumah nyaman.
Sementara para lelaki bekerja sebagai petani tebu atau hanya menganggur dan duduk-duduk seharian di rumah dan di bawah pohon. Minum teh dan merokok, serta saling membandingkan istri yang jumlahnya minim.
Warga desa mengatakan praktek berbagi istri ini memiliki banyak keuntungan. Salah satunya adalah menghindari perpecahan akibat berebut lahan dan aset di antara para pewaris keluarga. Selain itu, praktek ini juga membebaskan wanita miskin dengan mengawininya, mendapatkan nafkah dari banyak lelaki.
Menurut Bhagyashri Dengle, direktur eksekutif Children"s Charity Plan India, mengatakan praktek ini terjadi akibat menurunnya jumlah wanita dibandingkan lelaki. Kebanyakan warga di India mengaborsi bayi wanita karena dianggap tidak berguna di masa depan.
"Kita harus melakukan sesuai jika tidak situasi akan memburuk. Wanita di India akan semakin berisiko diculik, diperkosa atau jauh lebih buruk lagi," singkap Dengle.
Menurut sensus India tahun 2011, saat ini hanya terdapat 858 wanita untuk 1.000 lelaki di Baghpat. Jumlah wanita terus menurun. Hal ini juga terjadi di distrik Haryana, Punjab, Rajashtan dan Gujarat.
"Di setiap desa, terdapat lima atau enam bujangan yang tidak dapat menemukan istri. Dalam satu keluarga, terdapat tiga atau empat lelaki yang belum kawin," lanjut Dengle.
Salah satu cara untuk mengatasinya adalah membeli pengantin dari distrik lain seharga 15.000 rupee atau sekira Rp2,7 juta. Tapi, inipun hanya membawa penderitaan kepada kaum wanita, karena kebanyakan harus kawin dengan lelaki yang berusia jauh lebih tua.
Sumber