Mengenal 5 Band Punk Rock Asal Inggris yang Popular di Era 70’an


 Punk rock merupakan sebuah genre musik yang mendobrak atmosfer musik rock dunia era 70’an –saat itu musik rock didominasi oleh genre rock progresif, blue rock, jazz fussion bahkan early disco dan musik mainstream lainnya. Punk rock Berkembang di awal tahun 70’an baik di Inggris maupun Amerika Serikat.Punk rock menabrak dan mendobrak pakem musik rock mainstream saat itu (terutama musik-musik yang mewakili semangat flower generation dan hippies) , chord dan melodi yang pendek dan sederhana, serta lirik-lirik lebih frontal, kasar dan bahkan cabul, dikomposisikan pada tempo lebih cepat dengan teknik vokal ‘seadanya’—cenderung berteriak.

Beberapa kalangan, musisi punk rock, kritikus musik, dan budayawan, menyebutkan semangat kebebasan individu (do it yourself) merupakan inti dari pergerakan genre punk rock. Mereka menyusun jadwal panggung sendiri (komunal), memroduksi piringan hitam atau kaset sendiri, membuat sampul album seadanya namun tetap artistik dan provokatif, serta mendistribusikan musiknya secara mandiri. bldirgantara.blogspot.com
Pergerakan indipenden tersebut diawali oleh para musisi dan punk rocker yang ada di daratan Inggris, bahkan dengan tegas dikatakan: “Tidak ada Elvis, the Beatles, Rolling Stones tahun ini! (1977),” ucap the Clash dalam lagu “1977”. Joe Strummer Pentolan the Clash menambahkan: “Punk rock adalah kebebasan, kami mampu melakukan apa yang ingin kami lakukan.” Sementara aksi the Sex Pistols yang turut meramaikan pesta ulang tahun Ratu Elizabeth II, adalah catatan emas dalam sejarah punk rock klasik (1970- awal 1980’an). Berikut uniknya.com merangkum secara ringkas 5 band punk rock yang sensasional dan kontroversial di era 70’an:



1. Sham 69




Meskipun secara indie komersial penjualan album mereka tidak signifikan, namun jangan salah beberapa lagu mereka masuk ke dalam tangga lagu nasional di Inggris. Sham 69 merupakan sebuah legenda dalam dunia subkulture punk, semangat dalam lirik dan musikalitas mereka sangat memengaruhi perkembangan musik punk rock selanjutnya. Nama Sham 69 sendiri didapatkan oleh Jimmy Pursey dari sebuah coretan dinding kota, “Walton and Hersham ‘69’, sebuah klub sepakbola, Walton & Hersham F.C yang berhasil meraih titel juara pada Liga Athenia di tahun 1969.

Pada 12 November 1976, berdasarkan keterangan NME adalah kali pertama personel Sham 69 berkumpul dan melakukan latihan, meskipun Jimmy Pursey baru masuk 12 bulan setelahnya. Mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan seni namun sebagaimana gaya hidup kaum menengah ke bawah di Inggris, gairah hidup mereka ada di dalam sepakbola dan perjuangan kelas sosial (politik domestik dan internasional). bldirgantara.blogspot.com tidak heran Sham 69 lebih banyak memiliki penggemar setia dari kalangan Skinhead (baik yang netral, sayap kiri dan kanan) daripada punk rockernya sendiri. Pada akhirnya secara musikal mereka lebih menggiring dan mengawali kebangkitan musik punk ke dalam genre Oi, sebuah musik yang menjadi background pergerakan Skinhead, selain reggae dan ska.

Sham 69 mengeluarkan single pertamanya pada 1977 berjudul, “I Don’t Want to Stop”, diproduseri oleh John Cale (seorang personel Velvet Underground). Single pertamanya meraih kesuksesan secara indipenden, bahkan mampu menarik perhatian label Polydor Records. Salah satu lagu mereka yang sangat diingat dan menjadi mahakarya dalam sejarah punkrock dan Oi adalah, “Borstal Breakout,” pada 1978, sebuah lagu yang terinspirasi dari kehidupan dan fenomen sebuah penjara negara di Borstal Inggris, yang pada 1978 mengalami over kapasitas. Kemudian lagu, “If the Kids Are United“, “Hurry Up Harry” (peringkat 10 di tangga lagu domestik) yang dirilis Juli 1978, juga merupakan monumen Sham 69 dalam sejarah gerakan Punk Rock dan Oi. Lagu “If the Kids Are United“, juga digunakan ketika Tony Blair memasuki aula untuk membuka Konferensi Partai Buruh 2005 di Inggris.

Salah satu konsernya yang sensaional dan kontroversial yakni pada 1978 di Polytechnic Middlesex. Ketika konser sedang berlangsung penonton baik dari kalangan punkrocker maupun skinhead yang sedang menikmati penampilan Sham 69, harus terganggu dengan masuknya segerombolan Skinhead sayap kanan (fasis, ultra-nasionalis, dan supremasi kulit putih) berhamburan ke panggung dan berkelahi dengan personel Sham 69 serta para skinhead yang berada disekitarnya.
Setelah mengeluarkan empat album Sham 69 kemudian bubar pada 1979, setelah Jimmy Pursey bergabung dengan band punk Sex Pistols menggantikan posisi Johnny Rotten. Tidak lama di Sex Pistols, Jimmy kemudian banyak berkerjasama dengan musisi hebat lainnya, seperti dengan Stiv Bators (the Dead Boys) mendirikan The Lords of the New Church, kemudian berkolaborasi dengan Peter Gabriel dalam penggarapan single “Animals Have More Fun”. Sham 69, kemudian bangkit kembali pada 1987 hingga 2006 mereka menyatakan dirinya vakum akibat ada perselisihan antara Jimmy Pursey dan Dave Parsons. Pada Mei 2011 Dave Parsons menyatakan bahwa Sham 69 benar-benar bubar.



2. Cocksparrer




Cock Sparrer sebuah band punk rock yang dibentuk pada 1972 di East End, London, Inggris. Sama halnya dengan Sham 69, mereka tidak sukses dalam penjualan albumnya tapi itu tidak penting, karena musik mereka sangat memengaruhi pergerakan musik subkultur punk dan skinhead selanjutnya. bldirgantara.blogspot.com Karya mereka pun banyak dinyanyikan ulang oleh band band generasi selanjutnya, baik dari genre punk, oi, bahkan hardcore dan metal.

Saat itu warna musik mereka masih terdengar pub rock, glam rock dan garage rock ala 1960’an, namun pada akhirnya mampu menemukan warnanya sendiri, dan yang paling mencolok adalah dari segi lirik. Cock Sparrer, banyak menuliskan tentang fenomena sosial kaum kelas pekerja, mulai dari perkelahian, politik dan cinta. Bahkan nama Cock Sparrer sendiri diambil dari sebuah kata yang indentik dengan masyarakat Cockney, cock sparrow yang artinya kekeluargaan, keakraban .

Cock Sparrer didirikan oleh Collin McFaull, Mick Beaufoy, Steve “Burge” Burgess dan Steve Bruce –mereka semua telah berteman sejak berusia 11 tahun. Cock Sparrer salah satu band punk yang sering melakukan pertunjukkan dari pub ke pub di London. Mereka mengenal cara bermusik yang berbeda dan bahkan kemudian menjadi cikal bakalnya genre musik street punk atau lebih popular dengan sebutan Oi. Pada 1976 menyebar gosip bahwa mereka urung bekerjasama dengan Malcolm McLaren –salah satu orang yang berjasa terhadap band Sex Pistols, akibat Malcolm menolak memberikan bir pada Cock Sparrer, atau sebaliknya Cock Sparrer menolak menuruti merubah gaya fesyen mereka sesuai keinginan Malcolm.

Pada 1977 Garrie Lammin (sepupu Burge) bergabung menjadi gitaris kedua, bersamaan dengan itu Cock Sparrer menandatangani kontrak bersama Deacca Records, sebuah label yang mencoba meraih keuntungan dari maraknya gerakan punk rock di Inggris. Single peratamanya “Runnin Riot” dirilis pada Mei 1977, namun karena kurang sukses pihak label memutuskan kerjasama pada 1978. Cock Sparrer memang cerdik, mereka kemudian merilis ulang materi album Runnin Riot hanya di Spanyol dengan judul Cock Sparrer. Album tersebut tidak secara resmi dijual di Inggris, hingga pada akhirnya Razor Records merilisnya pada 1987 dengan judul “True grit”. Pada tahun 1980 Cock Sparrer sempat membubarkan diri, namun lucunya karena pada 1981 lagu-lagu mereka sering dimasukan ke dalam album kompilasi band-band Oi, akhirnya semangat mereka untuk bermusik bangkit kembali. Pada 1982 mereka kembali bergabung, dan bekerjasama dengan label Carerre Records yang meluncurkan single “England Belong to Me”. Dan meluncurkan debut album, “Shock Troopsin” pada 1983, dengan hit “Where Are They Now“, “I Got Your Number“‘ and “Riot Squad.” Pada 1984 Beaufoy keluar dari band dan digantikan oleh Shug O’Neill, kemudian Chris Skepis. album Running Riot in ’84 kemudian dirilis pada 1984.

Cock Sparrer sempat vakum untuk beberapa tahun, hingga pada tahun 1992 mereka berkumpul dan kembali melakukan tur (saat itu Daryl Smith mengisi posisi gitar kedua), dan hasilnya mereka berhasil merilis album “Guilty as Charged” pada 1994. Pada 1997 mereka kemudian meluncurkan album “Two Monkey,” semakin tua semakin jadi, para pria Cokney ini kemudian melakukan konser secara sporadis, beberapa festival musik mereka ikuti, salah satunya yang terkenal di Inggris, Wasted/Rebellion Festival. Cock Sparrer kemudian merilis album kelimanya pada November 2007, berjudul “Here We Stand.” April 2008, mereka membuka festival Rebellion di Wina, Austria, kemudian Agustus di Black Pool, Inggris. Punk & Disoderly 2009 di Berlin, Jerman. Mereka pun tampil di Riotfest Chicago, pada Oktober dan Festival Metro 2009, di Amerika Serikat.

Lagu “England Belong to Me”, Cock Sparrer digunakan oleh Dan Hardy (petarung UFC) untuk menutup aksinya di arena pertarungan. Sementara “Take ‘em All”, dinyanyikan oleh para supporter Klub sepakbola Seattle Sounders FC di dalam setiap pertandingannya. Cock Sparrer dan Rancid meskipun berbeda dekade, mereka merayakan luang tahun secara bersamaan, ke-40 tahun untuk Cock Sparrer dan Ke -20 untuk Rancid, tiket konser mereka di New York terjual habis. Mereka pun tampil di Christmas Bash di Birmingham dalam rangkaian menuju Rebellion Festival di Blackpool pada 8 November 2012.

Semangat para personel Cock Sparrer memang patut dicontoh, didekasi terhadap musik dan hidup yang mereka yakini luar biasa. Oi!!!!!!



3. Sex Pistols





Siapa yang tidak tahu Sex Pistols? Beberapa menyebutnya Sex Pistol adalah band punk yang paling fenomenal di era akhir 70’an. Selain aksi panggung dan ulah Johnny Rotten, Sex Pistol diwarnai dengan sensasi dan kontroversi sang pencabik bas, Sid Vicoius.

Sex Pistol didirikan oleh Johnny Rotten (vokal), Steve Jones (gitar), Glen Matlock (drum) dan Paul Cook pada tahun 1977, kemudian Sid vicious masuk menggantikan Paul. Di bawah asuhan manejer Malcolm McLaren, band paling provokatif di Inggris ini mendapatkan popularitas sebagai band punk yang kontroversial di daratan Inggris. bldirgantara.blogspot.com Bahkan konser mereka seringkali dicekal dan dipersulit oleh pihak berwenang karena seringkali menyebabkan kekacauan dan meneror masyarakat. Single pertama mereka, “God Save the Queen” adalah salah satu yang provokatif dan kontroversi, yang membuat pemerintahan monarki semakin antipati terhadap perkembangan musik dan subkultur punk rock saat itu.

Namun sebenarnya cikal bakal dari lahirnya Sex Pistols berawal dari band the Strand yang dibentuk di London pada 1972, oleh remaja kelas pekerja Steve Jones (vokal), Paul Cook (drum) dan Wally Nightangle (gitar). Berdasarkan sebuah kabar, Steve dan Paul mencuri alat musik untuk membentuk sebuah band. The Strand yang seringkali terlihat bermain dan berkumpul secara regular di sebuah toko pakaian (distro) kawasan King Shop di Chelsea, London. Tepatnya di distro Acme Attractions (dengan manajer Don Letts) dan distro milik Malcoml McLaren dan Viviene Westwood, Too Fast to Live, Too Young Too Die. McLaren mendirikan distronya pada tahun 1971 dengan nama Let it Rock, saat itu pun distronya sudah banyak dikunjungi oleh remaja-remaja di London. Pada tahun 1972 setelah namanya berubah berbau rocker, dan saat itu film Marlon Brando sedang popular, distronya semakin dikenal sebagai pusat berkumpulnya remaja punk Kota London. Di sinilah keempat personel bertemu dan kemudian dimanejeri oleh Malcom McLaren. John Lydon dan Sid Vicious adalah remaja sering terlihat bergaul di kawasan distro Malcolm, dan menjadi bagian dari Sex Pistols.

Sex Pistols melakukan pertunjukannya pada 12 Februari 1976 ketika membuka pertunjukan band Eddie and the Hot Rods di Pub Murquee. Di sinilah mereka mengibarkan bendera Sex Pistols dengan penuh semangat, keberanian Johnny Rotten memang tidak perlu disangsikan lagi. Saat melakukan pertunjukkan ia turun dari panggung menuju barisan kursi penonton dan bernyanyi bersama mereka. Melemparkan botol ke arah kerumunan, dan aksi terakhirnya di malam itu adalah berkelahi dengan personel/crew Eddie and the Hot Rods. Mengenan peristiwa itu, Steve Jones mengatakan kami tidak bermusik, namun membuat kekacauan.”

Sex Pistols kemudian melakukan debut pertunjukan di Klub 100, di Oxford Streets pada 30 Maret 1976. 3 April di klub 101ers, dikabarkan pada pertunjukan di Nashville Joe Strummer melihat penampilan Sex Pistols untuk kali pertamanya –ia kemudian mendirikan sebuah band bernama the Clash. Penampilan terakhir mereka di 101ers pada 23 April adalah akibat sebuah perkelahian Viviene Westwood dengan salah seorang penonton, bukannya dilerai Malcolm dan Jony Rotten malah ikut-ikutan berkelahi. Bukan itu saja, mereka pun akhirnya dicekal tampil di Nashville dan Marquee.

Pada 8 Oktober 1976 mereka bekerjasama dengan label EMI untuk kontrak pendek, hanya dua tahun. Akibatnya, mereka dipaksa untuk menghasilkan album secara cepat, dan hasilnya pada 26 November 1976 single pertama mereka “Anarchy in the UK” diluncurkan. Saat itulah mereka menjadi ikon pergerakan punk rock, mulai dari peniti, bendera Union Jack, hingga simbol huruf A (anarki) merupakan manifestasi dari lirik lagu “Anarchy in the UK”. Baris lirik kontroversial dan merupakan sebuah sikap serta ideologi perlawanan adalah, “I am an anti-christ” dan “Destroy!”

“lagu itu sangat kuat, mengandung sikap dalam berpolitik dan memilih gaya hidup,” ujar Colin Newman seorang pendiri band Wire.

Mereka kemudian meluncurkan single “God Save the Queen” bersamaan dengan rangkaian perayaan ulang tahun perak Ratu Elizabeth II, 10 Maret 1977. Sex Pistols dengan gaya khas mereka, berdiri bersiap-siap untuk menyanyikan lagu tersebut di atas sebuah kapal yang mengapung di atas Sungai Thames yang membentang di luar Istana Westminster. Namun aksi mereka utrung dilakukan karena aparat berhasil mencegahnya. Mereka dan semua yang ada di atas perahu pun ditangkap.

Lirik “God Save the Queen” memang sangat sinis dan provokatif sehingga banyak pihak radio yang mencekalnya. Cermati saja, “God save the queen, She ain’t no human being, And there’s no future, In England’s dreaming” salah satu baris yang terdapat di dalam lagu tersebut. Namun Johny Rotten mengatakan bahwa Sex Pistols adalah salah satu band yang jujur. Sementara Paul Cook mengatakan: ”Lagu ini tidak dibuatkan secara spesifik untuk perayaan ulang tahun Ratu.”

“Anda tidak membuat lagu seperti God Save the Queen, karena membenci bangsa Inggris. Anda menuliskan lagu tersebut karena mencintainya dan karena telah dikecewakan oleh pemerintahannya,” ujar Johny Rotten.

Mengikuti perjalanan band punk Sex Pistols seperti membaca catatan kejahatan seorang penjahat kambuhan di kepolisian, namun semangat mereka untuk punk tak pernah padam bahkan hingga tahun 2008 mereka masih terlihat enerjik di atas panggung.

4. The Clash





Setelah Sex Pistols mengguncang daratan Inggris di tahun 1977, kini pemerintah Monarki Inggris dicemaskan oleh satu lagi kehadiran band punk lainnya, the Clash. bldirgantara.blogspot.com Selama perjalanan bermusiknya mereka telah merilis lima album, diantaranya The Clash (1977), Give ‘Em Enough Rope (1978), London Calling (1979), Sandinista! (1980) dan Combat Rock (1982).

The Clash, sebuah band yang disebut-sebut memiliki kualitas lirik dan musik yang lebih cerdas dari pada band-band lain di masanya. Kecerdasannya dibuktikan dengan beragam warna yang dimiliki dan dimainkannya, mereka memasukkan unsur reggae, ska, dub, funk, rap, dansa dan rock. Sehingga tak aneh banyak penikmat dan kritikus musik yang menganggap hal tersebut sebagai inkosistensinya the Clash terhadap pakem musik punk rock. The Clash beranggotakan Joe Strummer (vokal), Mick Jones (gitar), Paul Semonon (bass, vokal) dan Nicky “Topper” Headon (drum).Tidak seperti Sex Pistols, perlawanan, pemberontakan mereka lebih artistik dan intelek, hal ini disebabkan karena latar belakang para personel yang rata-rata mendapatkan pendidikan yang baik, dan mereka memang pribadi yang cerdas.

The Clash merupakan band yang masing-masing personelnya saling memahami satu sama lainnya, dan mereka termasuk musisi yang menerima hal-hal baru. Joe Strummer (vokal, gitar) adalah penulis lirik yang hebat semantara Mick Jones si jenius yang berada dibalik komposisi lagu-lagu the Clash. Bertemu dengan Paul Simonon (bas) yang artistik dan Topper Headon (drum) yang memiliki kuat dan konsisten. Berbagai kepribadian, kemampuan dan keindahan bertemu sehingga menghasilkan komposisi dan struktur musik yang indah dan cerdas. Seperti yang diungkapkan oleh Lenny Kaye: ”the Clash adalah mesin yang sempurna.”

Tidak itu saja mereka memiliki penampilan panggung yang umumnya dilakukan oleh band punk lainnya, dan Joe lebih lancang dan provokatif dalam menyanyikan lirik lagunya, sehingga membuat para penontonnya tergetar dan terbakar. Konser the Clash lebih terlihat seperti sedang merayakan sebuah protes dan demonstrasi dalam sebuah lagu, perlawanan, kekacauan teatrikal senantiasa terlihat dalam konser mereka. Dan memang the Clash dikenal dengan band dengan penampilan live terbaik di masanya.

Secara singkat perjalanan the Clash diawali oleh pertemuan Joe Strummer dengan Mick Jones. Pada tahun 1976 Joe yang meninggalkan band pubnya, 101ers, dan memutuskan untuk bergabung dengan band proyekan Mick Jones, Paul Simonon, dan Keith Levene –anggota SS band milik Mick Jones, dan Terry Chimes (Tory Crimes). Namun tidak beberapa lama kemudian Levene keluar untuk membentuk Public Image Ltd bersama Johnny Rotten, sehingga perannya digantikan oleh Nicky Headon. Mereka kemudian sepakat pindah ke London, agar lebih fokus dalam bermusik. Di London Jones tinggal di sebuah rumah susun sementara Joe tinggal di flat neneknya. Di sanalah mereka menuliskan beberapa fenomena sosial yang terjadi di Inggris saat itu, bosan, marah, sedih dan berbagai tekanan psikologi yang dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah saat itu. Nama the Clash sendiri meluncur dari mulut Paul Simonon, menurutnya saat itu kata Clash banyak sekali muncul di berbagai media cetak Inggris. Nama tersebut dipilih sebagai sindiran, selain itu karena mereka tidak mendapatkan nama yang lebih baik.

The Clash meluncurkan album bertajuk “the Clash” pada April 1977 dan beredar di Inggris. Debut album tersebut melahirkan beberapa hit seperti “White Riot”, “I’m So Bore With the U.S.A” dan “London Burning.” Mereka bahkan mearansemen ulang lagu reggae meilik Junior Murvin, “Police & Thieves,” pada saat itu hubungan antara komunitas reggae dengan punk memang tidak begitu akrab, dibandingkan dengan Skinhead, melalui lagu ini hubungan antara punk dan reggae kemudian semakin mencair. Album the Clash, dianggap sebagai keemasan musik punk yang menggeser musik rock pada umumnya.

Di akhir 1977 dan di awal 1978, the Clash merilis singel “Complete Control,” “Clash City Rockers” dan “(White Man) in Hammersmith Palais.” Dilanjutkan dengan album kedua “Give ‘em Enough Rope” pada 1978, karakter musik mereka semakin kuat demikian denga liriknya. Lagu “Safe European Home,” dan “Stay Free,” mendapatkan tempat terbaik di telinga para punk rocker di daratan Inggris. Mereka kemudian mengeluarkan album ganda, “London Calling” pada Desember 1979 di Inggris dan Januari 1980 di Amerika Serikat. Di Album “London Calling” lah terlihat kematangan bermusik dan kecerdasan lirik the Clash. Energik, penuh pemberontakan dan semakin tegas melawan terhadap kemapanan sosial, budaya dan politik. Lagu mereka masuk ke dalam tangga lagu nasional Amerika Serikat, “Train in Vain” (ke – 23). Pada tahun yang sama pula the Clash membintangi Rude Boy, sebuah film yang menceritakan perjalanan mereka dan musik punkrock.

Album “Sandinista,” yang merupakan triplet album kemudian diluncurkan pada 1980, dan menghasilkan hit “The Magnificent Seven,” “The Call Up,” “Police on My Back,” dan ”Washington Bullets.” London Calling dan Sandinista merupakan dua album yang berhasil menembuskan dua lagu the Clash ke dalam tangga lagu nasional Amerika Serikat.

Pada 1982 “Combat Rock” menjadi album pamungkas the Clash, secara album menempati urutan ke-7 dan lagunya “Rock in The Casbah” dan “Should I Stay or Should I Go” masuk ke adalam top 10. Uniknya lagu “Should I Stay or Should I Go” menduduki urutan pertama di Inggris setelah dirilis ulang sembilan tahun setelah album Combat Rock, dan itu menjadi satu-satunya lagu the Clash yang menduduki urutan pertama di Inggris. Namun di tahun 1983 the Clash harus merasakan pahitnya membubarkan sebuah kebersamaan dalam bermusik, terakhir mereka melakukan di Californa Rock Festival. Sesudah itu Jones keluar dan mendirikan Big Audio Dynamite. Sementara yang masih bertahan Strummer dan Simonon (formasi awal) meluncurkan album Cut the Crap pada 1985 dan kemudian bubar setahun berikutnya.

Pada tahun 1999 kebersamaan ketiga pendiri the Clash kembali terlihat –Strummer,Jones dan Simonon, berkerjasama dalam penggarapa album konser kompilasi, “From Here to Eternity” dan film dokumentasi “Westway to the World”. Banyak yang menyebutkan itu bukanlah sebuah reuni, namun cenderung pada upaya rujuk. Pada 15 November 2002, Jones dan Strummer berbagi panggung untuk kali pertama setelah 20 tahun berpisah. bldirgantara.blogspot.com Mereka kemudian menyanyikan tiga lagu the Clash, diiring oleh band barunya Strummer, the Mescalleros. Sayangnya ketika penggemar setianya mengharapkan mereka berdua tampil kembali, Joe Strummer meninggal akibat serangan jantung pada 22 Desember 2002.


5. Buzzcock




Buzzcocks merupakan band punk rock asal Inggris yang dibentuk pada 1976, oleh penyanyi sekaligus gitaris, Pete Shelley dan gitaris Steve Diggle. Disebut-sebut sebagai salah satu band punk yang berpengaruh di kawasan Manchester, dan salah satu band punk rock yang menadapatkan kesuksesan secara komersial. Musik dan penampilan mereka sangat energik dan lincah, seperti pendahulunya Sex Pistols. “Ever Fallen in Love (With Someone You Shouldn’t Have)” merupakan single mereka yang paling banyak dinyanyikan ulang oleh band-band generasi selanjutnya dan lintas genre.

Nama Buzzcocks sendiri didapatkan oleh Howard Trafford (Devoto) dan Pete McNeish (Shelley) setelah membaca headline yang terdapat di surat kabar “It’s Buzz, cock!” bagi mereka ‘buzz’ berarti kesenangan/kegembiraan ketika berada di atas panggung dan ‘cock’ merupakan bahasa slang remaja Manchester yang berarti teman.

Diawali oleh Howard yang merupakan mahasiswa Bolton Institute fo Technology (Universitas of Bolton), sedang mencari teman musisi yang juga menyukai Velvet Underground. Saat itu ia berniat untuk mendiskusikan sebuah lagu milik Velvet Underground, “Sister Ray”, saat itulah ia kemudian bertemu dengan Pete. Mereka terlibat dalam sebuah diskusi dan saling mengenali kelebihan dan kekurangan masing-masing. Trafford adalah musisi musik elektronik sementara Pete adalah musisi rock.

Setelah masing-masing meubah namanya, pada 1975 Pete dan Howard mengajak seorang pemain drum untuk membentuk band. Saat itu mereka tidak bermain di depan publik melainkan lebih sering bermain untuk berlatih. Pada 1 April 1976 mereka tampil untuk pertama kalinya dengan menggunakan nama Buzzcocks, dengan Garth Davies sebagai pencabik bas dan Mick Singleton drum. bldirgantara.blogspot.com February 1976 Howard dan Pete, mengunjungi London untuk menyaksikan penampilan Sex Pistols. Mereka pun tertarik oleh penampilan Sex Pistols dan mengajaknya untuk tampil di depan publik Manchester Juni 1976. Dan ketika Sex Pistols menyanggupinya, Pete dan Howard kelimpungan karena ingin mejadi band pembuka namun saat itu mereka belum memiliki pemain bas dan drum. Lalu diajaklah Steve Diggle dan John Maher, setelah melakukan pertemuan dan latihan bersama, Buzzcocks pun tampil membuka pertunjukkan Sex Pistols yang kedua di Lesser free Trade Hall, Manchester. Pad September 1976 mereka kemudian kembali mengunjungi Londo untuk melakukan pertunjukan di 100 Club Punk Festival yang diadalan oleh Malcolm McLaren, dan band yang akan tampil diantaranya the Sex Pistols, Subway Sect, Soiuxsie and the Banshees, the Clash, the Vibrators, the Damned dan Stinky Toys (asal Perancis).

Di akhir tahun, Buzzcocks merilis empat track lagunya di dalam piringan hitam (PH/vinyl) bertajuk, “Spiral Scratch” melalui label yang mereka namai New Hormones. Keluarnya album “New Hormones” menempatkan mereka sebagai band punk pertama yang melakukan gerakan indie dalam hal produksi dan distribusi album rekamannya. Dibantu oleh Martin Hannett, mereka pun memiliki kualitas rekaman yang tidak kalah dengan produksi mayor label. Salah satu dari empat lagu yang ada di dalam PH “New Hormones” yang menjadi hit adalah “Boredom,” sebuah lagu yang berisikan perlawanan terhadap keadaan statis, stagna, atau lebih popular lagi dalam istilah politik status quo, di Inggris saat itu.

Namun setelah beberapa bulan kemudian, Howard memutuskan untuk kembali ke Universitas dan keluar dari band. Akhirnya posisi vokal diisi oleh Pete, namun pergantian vokalis ini ternyata cukup signifikan. Warna suara Pete yang tinggi sepertinya kurang diterima oleh kalangan punkrocker saat itu, karena mereka terbiasa dengan suara yang kasar. Steve pun beralih dari bass ke gitar dan Garth Davies menjadi bassis. Garth sempat bermain bersama Buzzcock di sebuah acara Radio 1 Peel Session pada September 1977, namun karena kecanduan alkohol ia diganti oleh Steve Garvey. Dengan formasi Buzzcocks yang baru, United Artist (UA) Records pun menawari mereka sebuah kerjasama.

Kerjasama dengan UA melahirkan single,”Orgasm Addict,” sebuah lagu yang secara terang-terang membahas seksualisme secara luga. Akibatnya radio BBC menolak untuk memainkan lagu mereka, meskipun laku keras di pasaran. Single selanjutnya “What Do I Get?” masuk ke dalam tangga lagu 40 di Inggris. Disusul “Lipstick”, dan “Promises”, yang dirilis pada 1978.

Bersama UA Buzzcocks menghasilkan tiga buah album PH: Another Music in a Different Kitchen, Love Bites, and A Different Kind of Tension, yang dibarengi oleh sejumhlah tur di Eropa dan Amerika Serikat. Musik mereka menjadi semakin melodis dan pop meskipun dibalut dengan kocokan gitar punk. Namun dari segi lirik mereka semakin dewasa dan cerdas, terlihat dari beberapa kalimat yang merupakan kutipan tokoh popular dunia. Salah satunya William S. Boroughs, “A Different Kind of Tension”. Mereka pun menyatakan keyakinan dirinya dalam lagu anthem, “I Believe,” dan berfantasi tentang radio, dalam “Radio Nine”. Setelah kontrak dengan UA berakhir, pada 1980 Buzzcocks bekerjasama dengan Liberty Records dan mengeluarkan tiga single. Namun demikian hanya satu yang menembus tangga lagu, yakni “Why She’s A Girl From The Chainstore/Are Everything.”

Di waktu bersamaan Pete membentuk sebuah band eksperimental sekaligus post punk, the Tiller Boys, bersama Eric Random dan Francis Cookson. bldirgantara.blogspot.comSementara Steve Garvey bergabung dengan band Teardropsin, bersama Tony Friel dan Karl Burns. Karena mereka keasyikan dengan band proyek masing-masing, Buzzcocks akhirnya dinyatakan bubar. Dan kabarnya band proyekan mereka pun bubar tak lama setelah Buzzcock bubar.

Pete dan Howard sempat bekerjasama pada penggarapan album musik elektronic punk, “Buzzkunst” di tahun 2002, padahal mereka telah berpisah sejak tahun 1976. Memang Buzzcocks seringkali mencoba untuk bangkit semenjak 1989, terutama Pete dan Diggle yang selalu bersemangat dengan membentuk formasi baru. bldirgantara.blogspot.com Bersama John Maher dan Mike Joyce (drumer the Smith), membuka penampilan Pearljam di tahun 2003. Pada 9 November 2009, Buzzcocks melakukan pertunjukan yang cukup unik, mereka menggunakan balkon kecil sebagai panggung pertunjukkan di Dame Street, Dublin. Pada Agustus 2011 mereka tampil sebagai band pembuka pada pertunjukkan Rhytm Festival di Bedforshire. Dan pada 25-26 Mei 2012 mereka tampil di Gedung O2 Apollo, Manchester dan O2 BRixton. (**)







sumber

Post a Comment

PENNTINNG !!!!!
silahkan tinggalkan komentar jika anda menyukai, jika anda kesulitan melakukan komentar dan tidak memiliki profil untuk komentar silahkan pilih profil Anonymous trimakasih salam dari saya Bhernanda Logan Dirgantara,,

Previous Post Next Post

Contact Form